Tuesday, January 22, 2013

Cinta Nabi Muhammad kepada kita



Rasulullah SAW telah menghiasi hidupnya dengan warna-warna cinta & kasih sayang. Baginda telah mencorakkan perjalanan hidupnya dengan perjuangan dan pengorbanan demi cinta kasihnya. Cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dan di luar jangkaan manusia biasa. Sekiranya kita menelusuri perjalanan hidup baginda serta menghayati setiap degupan nadi kehidupannya, kita akan lihat gambaran wajah kasih sayang yang terlalu mendalam serta cinta yang tidak berpenghujung pada umatnya. Kasih baginda tak pernah padam hinggalah suatu pagi, pagi yang bersejarah, pagi yang suram dan penuh dengan kedukaan.....


Pagi itu, walaupun langit mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Pagi itu, Rasulullah saw dengan suara yg tersekat-sekat memberikan khutbah; "Wahai umatku, kita semuanya dalam kekuasaan Allah dan cinta kasihNya. Maka taati dan bertaqwalah kepada Nya. Kemudian, Rasulullah saw memandang satu persatu sahabat-sahabat baginda ( Saidina Abu Bakar, Umar, Uthman & Ali) Ini Tandanya Rasulullah saw akan tinggalkan kita semuanya, bisik hati sahabat-sahabat baginda mereka teramat sedih, seorang sahabat yang sejati &kekasih Allah swt akan meninggalkan mereka..mengelenang air mata para sahabat.


Ketika Rasulullah saw berada di rumah: Waktu itu muncul secara tiba-tiba seseorang mengucapkan salam. Kemudian ia berkata, “Bolehkah saya masuk?”. Ia meminta izin untuk masuk. Akan tetapi Fathimah binti Rasulullah tidak berkenan dirinya masuk. Beliau tidak mengizinkan orang itu untuk masuk sambil berkata dengan lemah lembutnya, “Maafkan saya. Anda tidak boleh masuk ke dalam karana ayah saya kebetulan sedang sakit”. Fathimah kemudian berpaling dan menutup pintu dari dalam rumah. Fathimah kembali ke pembaringan di mana ayahnya sedang terbaring sakit. Ayahnya yang tercinta membuka matanya dan bertanya kepada Fathimah, “Siapa tadi, wahai anakku?” “Aku tidak tahu, ayah. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, ayah”, Fathimah menjawab dengan lembutnya. Kemudian Rasulullah menatap wajah puterinya itu dengan tatapan bergetar seolah-olah ia hendak mengingat-ingat setiap lekuk wajah puterinya itu. “Ketahuilah satu hal, anakku! Dialah yang akan menghilangkan semua kesenangan yang fana ini; dialah yang hendak memisahkan hubungan kekerabatan dan pertemanan di dunia ini. Dialah malaikat pencabut nyawa”, Rasulullah menjelaskan pada puterinya.



Demi mendengar itu Fathimah terhenyak seolah-olah mendengarkan sebuah bom yang diledakkan di dekatnya. Tangisan Fathimah meledak. Ia menangis tersedu-sedu dan tidak pernah tangisan dirinya itu, sepilu dan sepedih itu. Rasulullah kemudian menyuruh puterinya itu untuk mempersilahkan masuk sang malaikat pencabut nyawa itu. Kemudian ia masuk ke rumah. Malaikat pencabut nyawa (Izrail) datang menuju tempat di mana jasad Rasulullah terbaring lemah. Rasululah bertanya, mengapa Jibril tidak datang bersama dengannya. Kemudian Jibril pun dipanggil dan datang. Jibril telah siap menyambut kedatangan Rasulullah di langit. Jibril sudah siap menyambut roh kekasih Allah yang pernah memimpin dunia dengan keadilan, kebenaran, dan penuh kelembutan.


“Wahai Jibril, Jelaskanlah kepadaku apa hak-hak yang akan aku dapat daripada Allah?” Rasulullah bertanya kepada Jibril dengan nada bicara yang sangat lemah.


Maka Jibril pun menjawab: “Pintu-pintu langit akan terbuka dan para malaikat akan berbaris rapi menyambut kedatangan roh sucimu. Surga akan memanggil-manggilmu dan tidak sabar akan kedatanganmu”, Jibril berkata.


Semua perkataan Jibril itu seolah-olah sama sekali tidak membuat Rasulullah tenang karana masih terlihat kedua mata Rasulullah menyimpan sesuatu yang khawatir yang sangat mendalam. “Tuanku, apakah engkau tidak berbahagia dengan berita ini?”, tanya Jibril.


“Ceritakan kepadaku nasib dari umatku nanti di masa yang akan datang!” kata Rasulullah. “Janganlah kau khawatir, tuanku, ya Rasulullah! Aku telah mendengar Allah berfirman: “Aku akan haramkan surga untuk setiap orang kecuali setelah umat Muhammad masuk kedalamnya“, Jibril cuba menenangkan.


Waktu merambat makin dekat dan makin dekat. Waktu untuk mencabut roh sang kekasih Allah semakin dekat. Izrail sebentar lagi akan menunaikan tugasnya. Dengan perlahan dan hati-hati roh Nabi ditarik. Tubuh Rasulullah mulai mencucurkan keringat, urat lehernya menegang. “Jbril, ternyata yang namanya sakaratul maut itu sakit sekali”, Rasulullah berkata dengan gumaman lemah.


Fathimah, puteri Rasulullah menutup kedua matanya menahan kesedihan yang teramat sangat. Imam Ali/Saidina Ali a.s duduk dekat dengan Fathimah, menundukkan kepalanya dalam-dalam, sementara itu Jibril memalingkan mukanya tidak kuat melihat pemandangan yang sangat mengharukan itu.


“Apakah aku tampak menjijikan bagimu, wahai, Jibril. Sehingga engkau memalingkan wajahmu dariku?’ Rasulullah bertanya kepada sang penyampai wahyu. “Siapakah gerangan orangnya yang sanggup dan kuat melihat kekasih Allah sedang menghadapi sakaratul maut. Oleh karena itu aku memalingkan wajahku darimu, wahai tuanku”, Jibril berkata. Tidak berapa lama berselang, Rasulullah mengeluarkan suara dari tenggorokkannya karana rasa sakit yang teramat sangat.



“Ya, Allah. Betapa sakitnya sakaratul maut ini. Berikanlah rasa sakit ini kepadaku semuanya dan jangan berikan sedikitpun kepada umatku”. Tubuh Rasulullah kemudian terasa dingin; kedua kakinya dan dadanya tidak bisa lagi digerakkan. Bibir mulia beliau bergetar seolah-olah ingin mengutarakan sesuatu. Saidina Ali a.s. mendekatkan telinganya ke arah mulut Rasulullah yang suci. Rasulullah berbisik:“Ushiikum bis salati, wa maa malakat aimanuku” (jagalah solat dan urusilah urusan orang-orang lemah yang ada di sekitarmu)”.


Di luar ruangan terdengar tangisan sahut menyahut; tangisan yang satu disusul oleh tangisan yang lain–lebih keras dan lebih keras. Para sahabat Nabi saling berpegangan tangan satu sama lain seolah-olah ingin memperkuat dan menghibur hati sahabatnya yang lain. Fathimah binti Muhammad, puteri Nabi, menutupi wajahnya yang basah dengan air mata yang bercucuran sejak tadi. Saidina Ali sekali lagi mendekatkan telinganya ke dekat mulut Rasulullah yang sekarang sudah tampak membiru.


“Ummati, ummati, ummati”, (Ummatku, ummatku, ummatku) (dengan kalimat itu Rasulullah berwasiat agar Ali bin Abi Thalib mengurusi urusan umat Muhammad sepeninggal beliau). Setelah mengucapkan kalimat itu, Rasulullah pun berangkat menuju kekasihnya( Allah swt) dengan tenang. Innalillahi wa inna ilayhi roji’un.


"Hidupkan Rasulullah dalam dirimu nescaya kamu akan terjaga dari melakukan perbuatan yang tidak elok kerana takkan sanggup kamu lakukan perkara buruk sedangkan Rasulullah wujud dalam hati kamu..."
( Habib Ali Zainal Abidin Al Hamid )


perkongsian : http://kasihilahi15.blogspot.com

No comments:

Post a Comment